TechnoUpdate News

Karyawan Kini Lebih Sering Tanya AI daripada Rekan Kerja

Di tengah tekanan kerja modern, karyawan kini lebih memilih bertanya pada AI ketimbang rekan sekantor—mengubah cara kita berkolaborasi di era digital.

Pada pukul 09.03 pagi, Galang memulai harinya di kantor seperti biasa. Tapi yang pertama dia ajak bicara bukan rekan kerja sebelah mejanya, melainkan sebuah asisten AI yang ia beri nama “Luka”—dari akronim Learning User Knowledge Assistant. Dalam waktu 45 detik, Luka membantu menyusun outline presentasi, mencari data dari laporan tahun lalu, dan menyarankan tiga ide kampanye berdasarkan tren konsumen terbaru.

“Jujur, lebih gampang nanya ke dia,” kata Galang sambil tersenyum, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Luka nggak akan bilang, ‘itu kan udah pernah gue jelasin minggu lalu’.”

Galang bukan satu-satunya. Laporan Microsoft Work Trend Index 2025 menemukan bahwa 48 persen karyawan di Indonesia kini lebih sering bertanya ke AI daripada ke rekan kerja langsung. Di kalangan profesional muda usia 21–35 tahun, angka itu melonjak hingga 61 persen. Bukan karena tak ramah sosial, tetapi karena efisiensi telah menjadi mata uang utama di kantor zaman ini.

“AI membuat manusia bisa bekerja dengan sunyi, tapi tidak sendiri,” ujar Galuh Putri Riyanto, analis tren kerja digital dari Jakarta Institute of Future Work. “Ia adalah rekan kerja tanpa ego, tanpa jadwal padat, dan tanpa bias.”

Kantor masa kini bukan lagi ruang terbuka penuh diskusi spontan. Suara keyboard, deru pendingin ruangan, dan desingan notifikasi menjadi latar belakang hari kerja yang sunyi, namun tidak sepi.

Di sudut ruang kerja Jakarta Selatan, Diah, Chief People Officer sebuah perusahaan konsultan digital, mengamati bahwa pergeseran ini bukan hanya soal teknologi, tetapi budaya. “Karyawan sekarang lebih mandiri dan lebih tenang, karena ada ‘teman digital’ yang siap membantu setiap saat,” tuturnya.

Read More  Subsidi Motor Listrik Lanjut, Dorong Transisi Energi Bersih di Indonesia

AI, dalam berbagai bentuknya—mulai dari co-pilot dokumen, perencana konten otomatis, hingga chatbot brainstorming—telah menjadi anggota tim yang tak terdaftar di organigram, tapi tak tergantikan dalam alur kerja harian.

Namun tak semua pihak nyaman dengan transformasi ini. Beberapa HR dan psikolog organisasi menyebut “keheningan di kantor” sebagai gejala awal dari hilangnya interaksi sosial dan ruang belajar antar manusia.

“Belajar dari kesalahan, meminta pendapat, bertukar cerita—semua itu membentuk manusia profesional,” kata Dr. Raka Pradipta, pakar psikologi kerja dari Universitas Indonesia. “Jika semua diarahkan ke AI, apa yang terjadi pada empati dan intuisi kolektif kita?”

Ia menyebut istilah algorithmic isolation—kondisi di mana manusia hanya bertukar informasi dengan mesin, kehilangan spontanitas dan nuansa komunikasi yang sejatinya manusiawi.

Menuju Simbiosis Baru: AI + Manusia

Meski begitu, banyak perusahaan justru menganggap ini sebagai langkah alami menuju simbiosis yang lebih efisien. Di tempat kerja masa depan, AI tak menggantikan manusia, tapi membantu mereka bertumbuh.

Perusahaan di sektor kreatif, keuangan, hingga pemerintahan kini mulai menerapkan AI buddy—sistem cerdas yang mengenali preferensi kerja tiap individu, merekomendasikan waktu kerja optimal, hingga mengingatkan karyawan untuk beristirahat saat detak jantung mulai naik lewat wearable yang terhubung.

“Kami mendesain AI untuk bukan hanya menjawab, tapi juga menjaga,” kata Shinta Damayanti, CTO startup AI lokal di Bandung. “Mereka jadi rekan kerja yang tahu kapan harus memberi solusi, dan kapan harus diam.”

Masa depan kerja bukan tentang manusia vs mesin, tapi manusia + mesin. Di masa depan yang tak jauh, tim hybrid tak lagi berarti hanya kerja dari rumah atau kantor, tapi juga kolaborasi antara manusia dan rekan digitalnya.

Read More  DBS Treasures Perkuat Layanan Wealth Management di Asia

Karena kadang, pertanyaan paling sulit dalam pekerjaan bukan “apa jawabannya?”, tapi “siapa yang aman untuk aku bertanya.” Kini, mungkin jawabannya: AI.

Back to top button